![]() |
Pro dan Kontra Perpanjangan Masa Jabatan Kades |
Dailynusantara.id, Nasional - Isu perpanjangan masa jabatan Kepala Desa yang sebelumnya enam tahun menjadi sembilan tahun menuai pro dan kontra, Sabtu (21/01/2023).
Salah satu orang yang mendukung usulan ini adalah Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar.
"Bulan Mei tahun lalu saya sudah menyampaikan pemikiran itu di depan para pakar di UGM, agar mendapatkan kajian secara akademis sehingga sesuai antara permasalahan dengan solusi," kata Halim.
Menurut Halim penambahan masa jabatan diusulkan karena selama ini kepala desa dinilai kurang efektif lantaran sibuk menyelesaikan konflik yang selalu muncul usai pemilihan kepala desa (Pilkades).
"Sehingga membutuhkan waktu cukup lama, lebih dari satu sampai dua tahun untuk meredakan ketegangan itu. Di sisi lain, suasana kompetisi sudah mulai terasa lagi sejak satu sampai dua tahun sebelum perhelatan Pilkades berikutnya," kata Halim.
Total masa jabatan sembilan tahun dengan dua periode sama persis dengan total masa jabatan enam tahun tiga periode, sama-sama 18 tahun, tetapi suasana kondusif masyarakat desa jauh lebih terjaga.
Sementara itu, Halim meminta masyarakat desa tidak perlu khawatir berkurangnya porsi demokrasi pada gagasan periode sembilan tahun itu.
Terlebih, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) punya mekanisme perwakilan warga desa bisa memilih kepala desa baru yang pejabat sebelumnya berhenti di tengah jalan.
UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa mengatur Kepala Desa memegang jabatan selama enam tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. Kepala Desa dapat menjabat paling banyak tiga kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.
Berbeda pendapat Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun menilai argumen yang mendasari tuntutan perpanjangan jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun, merusak demokrasi.
“Saya cermati ada dua argumen yang dikemukakan kepala desa dan Budiman Soedjatmiko terkait tuntutan perpanjang masa jabatan kepala desa tersebut,” kata Ubedillah dalam keterangan tertulisnya.
Argumen pertama yang disoroti nya adalah anggapan bahwa masa jabatan kepala desa selama 6 tahun tidak cukup untuk mengatasi keterbelahan masyarakat desa akibat pemilihan kepala desa, sehingga tidak ada cukup waktu membangun desa. Kedua, dana untuk pemilihan kepala desa lebih baik digunakan untuk pembangunan sumber daya desa.
Menurut Ubedillah, argumen yang pertama tidak dapat dibenarkan, karena 6 tahun merupakan waktu yang cukup untuk melaksanakan program-program desa.
Selain itu, kata dia, waktu 6 tahun merupakan waktu yang sangat lama untuk memerintah desa dengan jumlah penduduk rata-rata hanya puluhan ribu.
“Jadi problemnya bukan soal kurangnya waktu, tetapi minimnya kemampuan leadership kepala desa,” ujar dia.
Walaupun masa jabatan diperpanjang menjadi 9 tahun, namun masalah substansinya tidak diatasi maka kepala desa tetap tidak dapat menjalankan program-programnya dengan baik. Jadi, solusinya bukan memperpanjang masa jabatan.
Lalu untuk argumen kedua, Ubedillah juga menyebut argumen tersebut lemah. Pasalnya, dana pemilihan kepala desa sudah disiapkan APBN dan sudah dianggarkan sesuai peruntukannya.
“Dana itu juga tidak menguras APBN dan tidak mengganggu APBN seperti pembangunan kereta cepat dan pembangunan IKN,” katanya.
Berdasarkan perhitungannya, dana untuk pemilihan kepala desa di seluruh Indonesia totalnya tidak sampai Rp 50 triliun. Apalagi, Pilkades tidak dilaksanakan secara serentak dalam waktu yang sama di seluruh Indonesia.
“Jadi secara argumen perpanjangan masa jabatan kepala desa itu lemah, dan lebih dari itu secara substantif merusak demokrasi,” pungkasnya.
Sebab, kata Ubedillah, jabatan publik yang dipilih rakyat itu dalam demokrasi harus dipergilirkan agar terhindar dari kecenderungan otoriterian dan korupsi.
Penulis : Tullahwi
Editor : Her