![]() |
Tanaman Tebu Salah Satu Tanaman untuk Bahan Pembuatan Gula |
Dailynusantara.id, Artikel - Negara Indonesia merupakan salah satu negara agraris dengan kekayaan alam yang berlimpah dan sumber daya manusia yang besar. Penduduk Indonesia termasuk dalam lima besar penduduk terpadat di dunia. Dengan kekayaan alam yang melimpah, seharusnya Indonesia sudah menjadi negara maju. Namun, kenyataannya, Indonesia masih merupakan negara berkembang yang belum mampu mengembangkan kekayaan alamnya sendiri secara optimal. Hingga saat ini, Indonesia masih mengimpor beberapa jenis hasil pertanian dari negara lain, salah satunya adalah gula.
Gula merupakan salah satu bahan pokok yang sangat dibutuhkan oleh banyak orang. Oleh sebab itu, pasokan gula di Indonesia harus memenuhi permintaan. Namun, pasokan gula di Indonesia terkadang tidak dapat memenuhi permintaan karena harga gula lokal melonjak tinggi.
Menurut Kementerian Pertanian, luas lahan tebu saat ini berkisar 488.900 hektar, terdiri dari 239.100 hektar perkebunan rakyat dan 249.800 hektar perkebunan berskala besar. Jumlah lahan ini terus berkurang karena petani tebu semakin meninggalkan komoditas tebu akibat produktivitas yang rendah dan harga yang tidak bersaing.
Pemerintah, pabrik, petani, pedagang, karyawan, dan konsumen harus bersinergi untuk mengintegrasikan penanaman, penebangan, pengangkutan, dan penggilingan tebu dalam satu manajemen. Pemerintah dan masyarakat perlu melakukan inovasi untuk meningkatkan rendemen dengan memperbarui pabrik, memperluas lahan tebu, dan memberikan bibit unggul. Selain itu, penting untuk menarik investor swasta yang dapat bekerja sama dengan akademisi lokal dalam inovasi peningkatan rendemen produksi gula.
Impor bertujuan untuk mengendalikan harga bahan pokok di dalam negeri yang melonjak tinggi. Enggar menyatakan bahwa impor gula mentah itu hanya untuk gula rafinasi (di tingkat industri). Ia menganggap, secara otomatis, tidak mengganggu pasokan untuk gula pada tingkat konsumsi. Padahal, kuota impor gula mentah untuk industri pada tahun 2019 sebesar 2,8 juta ton, yang dibagi menjadi dua, yaitu gula konsumsi (GKP) dan gula rafinasi (GKR). Menurut data, Indonesia berada pada urutan pertama negara pengimpor gula periode 2017-2018 dengan besar impor 4,45 juta metrik ton (BPS). Lantas, menurut ekonom UI Faisal Basri, bukan tidak mungkin jika impor diindikasikan dengan praktik rente.
Praktik rente ini tidak hanya merugikan petani, tetapi juga konsumen. Dinamika pasar domestik dirusak akibat impor, sehingga petani merugi dan konsumen diharuskan membayar lebih mahal. Muncul kesenjangan yang tinggi antara harga gula mentah dunia dengan harga gula di pasaran, yakni antara 8.000 hingga 20.000 rupiah per kilogram pada bulan Mei 2024. Kemungkinan perbedaan harga ini dinikmati oleh para produsen gula rafinasi (GKR), terutama mereka yang dengan sengaja mengalirkan gula rafinasi ke pasar gula konsumsi. Pemerintah juga menerbitkan izin impor gula mentah (GM) untuk diolah menjadi gula konsumsi sebanyak 1,01 juta ton. "Selisih antara data impor gula BPS dengan total realisasi impor itulah yang dimanfaatkan oleh produsen dan importir. Petani tertekan karena pemerintah juga menggunakan gula impor untuk gula konsumsi sebagai instrumen stabilisasi harga".
Kondisi di atas menunjukkan bahwa munculnya praktik rente diakibatkan oleh selisih harga gula impor yang tercatat di BPS dan adanya regulasi rente yang memungkinkan praktik ini merajalela. Regulasi rente ini ada karena rendahnya validitas data, yang berimbas pada semakin maraknya pemburu rente di sektor pangan. Hal ini juga dipicu oleh kerumitan data pangan dan perbedaan harga internasional versus lokal yang menggiurkan, sehingga memberi ruang bagi pemburu rente.
Pemerintah seharusnya menyusun neraca gula nasional sebagai landasan akurat dalam menyusun kebijakan jangka panjang. Sebab, impor dinilai sebagai kebijakan jangka pendek dan sering disalahgunakan oleh sejumlah pihak untuk kepentingan pribadi. Selain itu, perlu adanya pemberdayaan petani tebu dalam proses budidaya hingga pascapanen, penyaluran bibit unggul, dan perluasan lahan. Pabrik gula (PG) yang sudah lama, terutama milik BUMN, perlu direvitalisasi agar dapat meningkatkan hasil produksi gula.(Lili, Sarita Indah Sari)